I.Pengantar
Judul materi ini sesungguhnya
muncul ketika ada percakapan mengenai apa yang patut diberikan sebagai usaha
memperlengkapi pertama-tama kepada para pemuda Gereja tetapi kemudian kepada semua pembaca dalam menyikapi dan menampilkan hidup di tengah-tengah kemajemukan daan pluralitas. Judul ini terinspirasi oleh judul buku yang ditulis seorang
teolog bernama Harun Hadiwijono.
Materi ini dipersiapkan untuk
memperlengkapi para pemuda dalam upaya membangun
bersama di tengah-tengah masyarakat yang berbeda-beda (majemuk). Alasan lain
adalah bagaimana kaum muda ini dan kita semua mampu secara konsisten memiliki iman yang kokoh,
hidup oleh iman itu serta dapat hidup bersama dengan rukun dan damai bersama
penganut iman yang berbeda dengannya.
Istilah Agama yang disebut-sebut
dalam materi ini memang berbeda dengan istilah iman yang kita pahami. Agama
yang berarti tidak kacau (a= tidak;gama=kacau) sedangkan iman adalah intisari
dari agama itu, buah terdalam dari keberagamaan seseorang itulah imannya. Sebab
orang dapat saja disebut beragama tetapi belum tentu dia beriman.
Sistimatika materi ini terdiri dari 4 bagian yakni :
Bagian Pertama : Pengantar
Bagian Kedua : Sekilas tentang historis agama-agama di Indonesia
Bagian Ketiga : Imanku dan Iman sesamaku
Bagian Keempat : Penutup.
II. Sekilas melihat historis
agama-agama
Sebelum agama-agama besar masuk
ke Indonesia, masyarakatnya telah memiliki kepercayaan terhadap Yang Ilahi,
telah memiliki kebudayaan yang disebut monotheisme-kultural yaitu bahwa kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu telah merupakan bagian dari kebudayaan bangsa
kita. Di Indonesia kita mengenal ada 5
agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diakui. Agama-agama ini
masuk ke Indonesia
melalui beragam cara , misi serta orang/kelompok yang menyebarkannya.
Kerajaan-kerajaan yang terkenal
di Nusantara, Kerajaan Sriwijaya yang berdiri abad ke 7 di Sumatera dan
Kerajaan Majapahit yang berdiri tahun 1292 , misalnya, merupakan simbol
masyarakat penganut agama Hindu dan Budha.
Kemudian pada masa perdagangan
antar bangsa berkembang dan terbuka para pedagang dari Gujarat, India, pada
sekitar abad ke 13 memasuki wilayah Indonesia sekaligus menandai masuknya agama
Islam. Kelompok masyarakat penerima adalah mereka yang berdiam di pesisir
pantai.
Semangat menjelajah serta
keinginan untuk mengetahui daerah-daerah di belahan bumi yang lain disertai
dengan semangat menaklukkan mendorong bangsa-bangsa di Eropa seperti Portugis,
Spanyol dan Belanda menjelajah benua Asia,
Afrika dan Amerika. Mereka kemudian sampai ke Indonesia. Agama Kristen yang
menyebar dari tanah kelahirannya di Palestina, Timur Tengah kemudian ke daratan
Turki, Laut Tengah dan daratan Eropa. Agama Kristen Katolik dibawa masuk oleh
para misionaris bersamaan dengan kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol ke
Indonesia pada sekitar tahun 1511, sedangkan Kristen Protestan dibawa masuk
oleh para zending yang terganung dalam lembaga penginjilan bernama NZG
(Netherlandsch Zendelings Genootschap) pada sekitar abad 19.
Secara historis kita melihat
bahwa penetrasi agama-agama di Indonesia
memang telah mempengaruhi nilai-nilai, adapt istiadat , bahasa serta budaya
masyarakatnya. Diberbagai daerah sangat terasa nilai-nilai dari agama-agama
berbaur dengan nilai budaya yang ada dalam masyarakat yang kemudian menjadi landasan membentuk / membuat aturan atau kesepakatan
kelompok dalam masyarakat. Demikian pula
tidak dapat dipungkiri bahwa saat penyebaran agama terjadi juga asimilasi
budaya pendatang dengan budaya setempat bahkan di beberapa tempat budaya
tersebut terkikis oleh kehadiran agama baru itu. Inilah yang kemudian
menjadikan budaya bangsa Indonesia
menjadi beranekaragam dan dinamis seiring
dengan perkembangan pemahaman masyarakat terhadap kebutuhannya akan nilai-nilai
kerohanian (spiritual). Peran Negara
juga memberi pengaruh yang kuat terhadap perkembangan agama-agama di Indonesia
walaupun kita bukan Negara agama. Bersyukur kita mempunyai dasar ideology
Negara yang kokoh mengayomi seluruh komponen masyarakatnya serta mampu
mengakomodir eksistensi agama-agama untuk terus melakukan misinya
masing-masing. Bahkan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid,
beberapa kelompok penganut agama yang dimasa Orde Baru dilarang justru mandapat
pengakuan dari Negara(=pemerintah)
III. Bentuk-bentuk Ekstrim Cara
Beragama
Di Negara adikuasa Rusia yag
komunis dan Amerika yang kapitalis, agama tidaklah mempunyai tempat dan fungsi
yang resmi. Di dua Negara yang sekuler ini, agama memang tidak dilarang namun
agama dipahamai sebagai soal pribadi dan Cuma menyangkut urusan-urusan rohani
penganutnya. Tetapi dinagara-negara yang tidak
sekuler atau lebih tepatnya di Negara-negara agama (Negara-negara yang
berdasarkan agama atau Negara yang mengakui salah satu agama sebagai agama
Negara), peranan agama baik secara
konstitusional, institusional dan ideologis memang sangat besar. Ada yang menjadikan hukum
agama menjadi hukum Negara secara bulat-bulat namun ad juga yang cukup tersirat
saja..
Secara historis, kita dapat
mengatakan bahwa agama-agama di dunia ini pada umumnya lahir, bertumbuh dan
berkembang sebagai “anak tunggal”. Hindu di India, Budha di SriLanka dan
Thailand, Kristen di Eropa dan Amerika, Islam di Iran, Pakistan dan Timur
Tengah. Dilahirkan dan berkembang sebagai “anak tunggal” tentu tersebar dan
menyebarkan dengan cirri khas sebagai “anak tunggal” dengan keuntungan dan
kerugiannya. Maksudnya adalah kecenderungan sikap dominan dan kurang toleran
dari “anak tunggal” untuk melihat yang lain sebaga saingan, yang harus
disingkirkan atau paling tidak dilemahkan kuasanya. Oleh karena itu muncul
bahaya besar yang secara ekstrim menjadi usaha dari “anak tunggal” untuk
memperkuat dan membesarkan diri, dan bila merasa terancam berusaha membentengi
diri sekuat-kuatnya.
Kenyataan ini secara terbuka
dikatakan bahwa kekristenan didalam sejarahnyapun pernah bermimpi untuk
menguasai dunia. Menjadi agama satu-satunya di dunia, tidak saja merasa diri
paling benar, tetapi juga satu-satunya yang benar. Inilah salah satu contoh
kompleks “anak tunggal”.
Tetapi, beberapa dekade terakhir
ini, muncul kesadaran baru dikalangan orang-orang Kristen (khususnya di Barat)
yang memandang bahwa usaha untuk mematikan agama lain tidaklah berhasil sebab
makin lama agama lain itu semakin berkembang, bahwa agama lain juga mengandung
ajaran yang tidak dapat dipandang rendah atau salah semata-mata, Dan ketika
orang-orang Kristen (di Eropa dan Amerika) dituntut untuk hidup bersama dengan
penganut agama lain maka muncullah apa yang disebut “plural shock” (kejutan
kemajemukan)
Plural shock tidak hanya terjadi
dikalangan Kristen saja tetapi juga di semua agama sebab para penganutnya
banyak yang belum siap. Belum mapan sikapnya menghadapi situasi yang baru.
Banyak yang belum siap menerima bahwa tidak ada satupun agama di dunia ini yang
dapat bermimpi menjadi satu-satunya agama bagi seluruh dunia; bahwa
kemajemukan/perbedaan semakin merupakan kenyataan yang harus diterima, sebab
orang yang melawannya seperti menangkap angin. Namun, tak dapat dipungkiri ada
juga sekelompok orang yang secara militant tetap keras kepala tidak mau
mengikuti kenyataan baru ini dan mereka tetap memperjuangkan aspirasi sebagai
“anak tunggal”
Pola pemikiran seperti ini melahirkan
dua pandangan ekstrim terhadap kemajemukan agama .
Pertama, kenyataan bahwa kita berada di tengah-tengah masyarakat
yang pluralis (majemuk) yang mengagetkan itu membuat orang memandang bahwa
keunikan yang ada pada agama-agama sebagai sesuatu yang ekslusif (tertutup)
haruslah ditolak. Jadi teologi agama haruslah bersifat inklusif (terbuka). Nah,
cara berpikir seperti ini melahirkan pandangan bahwa semua agama pada
hakekatnya sama, yang berbeda hanya bentuk luarnya saja. Begitulah, yang
terjadi kemudian cara pandang dan pola pikir ini menjadikan agama kehilangan
identitasnya. Sehingga orang dapat saja berganti agama tanpa beriman secara
sungguh.
Ekstrim yang kedua, justru mengambil wujud yang berbeda dengan yang pertama.
Saat menyadari bahwa ia bukan satu-satunya, ia tidak dapat menerima kenyataan
ini. Ia menyadari bahwa menerima kenyataan baru, ia akan kehilangan
identitasnya,jatidirinya, yang selama ini menjadi nafas dari seluruh
kediriannya. Ia tidak mau kehilangan. Sebab itu reaksinya adalah melindungi
seluruh identitasnya dengan sekuat-kuatnya, dan itu berarti mendirikan benteng
pelindung yang setebal-tebalnya.Kecenderungan inilah yang melahirkan semangat
fundamentalisme , fanatisme yang berlebihan.serta upaya mempertahankan ajaran
sedapat-dapatnya. Semangat ini dapat muncul pada sikap mengisolasikan diri
dengan cara tertutup tetapi juga bisa secara agresif..
Dua bahaya yang ekstrim ini tidak
akan dapat menolong kita untuk dapat membangun apa yang kita sebut “toleransi”.
Sebab toleransi tidak dapat dibangun dengan cara-cara seperti itu.
Sulaiman Manguling (Bina Darma ,
Majalah Triwulan No 51 Tahun ke 13, 1995) mengutip pernyataan Walter Freytag
(teolog) yang mempunyai pandangan bahwa “orang
yang hanya mengetahui satu agama (yakni agamanya sendiri) sebenarnya tidak tahu
agama manapun, karena jikalau orang tidak berkesempatan membuktikan ciri khas
suatu pokok tertentu dalam agama atau kepercayaannya, dengan jalan
membandingkannya dengan pokok-pokok dalam agama lain, bagaimana ia dapat
mengetahui bahwa unsure-unsur ini sifatnya mendasar dan hakiki bagi
kepercayaannya dan tidak pula dijumpai dalam agama lain?” Selanjutnya, ia
mengutip pernyataan Hans Kung “hanya jika
kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat memahami iman
kita sendiri secara sungguh-sungguh: kekuatan dan kelemahan, hanya jika
berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat menemukan dasar yang
sama, meskipun ada perbedaaannya dapat menjadi landasan untuk hidup bersama di
dunia ini secara damai”
IV. Panggilan Beriman di tengah
Kemajemukan
Dari paparan ini, kita dituntun
untuk mengambil sikap yang terbuka, positif namun kritis dalam membuka diri
terhadap pandangan iman kita berhadapan dengan pandangan iman sesama kita. Memandang
bahwa semua agama sama atau mempertahankan identitas agama secara fundamental
adalah sikap yang cenderung mendirikan tembok pemisah diantara sesame pemeluk
agama.
Dalam Alkitab, banyak
menceritakan bagaimana para tokoh- tokohnya bersentuhan dengan iman lain dalam
perjalanannya menemukan imannya sendiri. Abraham, harus keluar dari lingkungan
keluarganya dan pergi memasuki dunia yang asing dan tentu memiliki iman yang
berbeda dengannya namun itulah panggilan hidupnya dan disanalah ia menemukan
identitas imannya yang sesungguhnya (bnd.Kej.12,22) Bangsa Israel keluar dari
tanah Gosyen dan berjalan mengitari padang gurun selama bertahun-tahun,
disepanjang perjalanan mereka bertemu dengan suku-suku yang pasti memiliki cara
beriman yang berbeda (bnd.Ulangan 2) ; mereka pernah jatuh bangun dalam mencari
identitas iman sebagai umat pilihan seperti terjebak dalam bahaya sinkretisme
ketika Harun membuatkan mereka patung lembu emas untuk disembah sebagai
pengganti Yahwe (Ulangan 9:13-20). Pada peristiwa ketika mereka ditawan oleh bangsa lain dan dibawa ke pembuangan
terjadi “kebangunan rohani” saat mereka menyadari bahwa mereka tidak dapat
melakukan ibadah dan mengalami sentuhan spiritual di negeri orang. Daniel dan
teman-temannya berhasil mempertahankan identitasnya dan mendapatkan pengakuan
raja Nebukadnezar di istana Kerajaannya (Daniel 1).Ester, menjadi permaisuri
dari kalangan bangsa Yahudi menjadi salah satu diantara para tokoh yang mampu
mempertahankan identitas tanpa harus bersikap fundamental (Ester 2).
Tuhan Yesus dalam seluruh
pengajaranNya,(menurut kesaksian Kitab Injil) selalu memakai simbol-simbol yang
menjadi ciri khas budaya dan masyarakat disekitar (budaya masyarakat Yahudi
dipengaruhi secara ketat oleh pandangan agama yahudi), sehingga orang-orang
yang mendengar pengajaranNya merasa terbangun imannya. Rasul Paulus, ketika
memberitakan Injil kepada orang-orang di Atena, ia menggunakan pola pikir
masyarakat Yunani yang menyembah
dewa-dewi untuk memperkenalkan imannya kepada Yesus Kristus , tanpa
mengusik keberadaan mezbah yang terletak di tengah-tengah kota menjadi salah
satu tempat penyembahan mereka(Kis.17:23)
Beriman ditengah-tengah
kemajemukan adalah sesuatu yang harus diupayakan dan dibangun ditengah-tengah
masyarakat kita saat ini. Apalagi sebuah kenyataan yang tak dapat kita pungkiri
bahwa kita memang berada di tengah kemajemukan itu. Sebab sesungguhnya kita
tidak dapat hidup sendiri atau mengisolasikan diri serta menjadi kelompok
ekslusif yang fundamentalis serta agresif. Kita tidak boleh menjadi kelompok
yang secara membabi buta membangun semangat spiritulitas yang kharismatis tanpa
peduli pada sekitar.
IV. Penutup
Kembali ke awal cerita kita, apa
yang kita cari melalui pembahasan materi ini? Saya memberi kesempatan pada
teman-teman untuk menulis kesimpulan pribadi dan menyampaikannya pada kita di
forum ini. Kesimpulan kita akan menentukan bagaimana kita akan keluar ke
tengah-tengah masyarakat disekitar kita, akan menentukan bagaimana kita
memberlakukan iman kita, bagaimana kita memandang iman sesama kita.
Kita tak dapat beriman dengan
sungguh-sungguh tanpa kita melihat dan menyelami iman sesama kita. Karena itu penting bagi kita untuk
mengenal serta menyelami cara beriman sesame kita tanpa harus menjadi sama
dengan mereka. Tetapi satu hal yang perlu kita waspadai adalah yang harus
dilakukan terlebih dahulu adalah belajar dan mengenal imanmu dan kembangkan
imanmu dengan mengenal iman sesamamu.
Dengan demikian semangat dialog
yang terbangun diantara kita bukan hanya
didasarkan pada adanya rasa sungkan dan hormat yang semu melainkan lahir dari
semangat saling terbuka secara mendalam, secara santun dan penuh penghargaan.
Kebersamaan hanya dapat diciptakan jika terjadi keterbukaan untuk mengenal dan
belajar antara aku, kau dan Dia. Sebab “Allah
adalah Allah. Kita tidak boleh menguasai Allah. Sama seperti menguasai milik
pribadi kita; Allahlah yang memiliki kita. Allah itu bebas. Ia tidak bisa
terpenjara dalam satu agama. Allah adalah Allah : artinya yang tahu persis
tentang Allah adalah Allah sendiri” demikian ungkapan bijak Wesley Ariarajah.(gacw-22102009)