Jumat, 07 Desember 2012

IMANKU DAN IMAN SESAMAKU Upaya membangun toleransi beragama - sebuah catatan pembimbing



I.Pengantar
Judul materi ini sesungguhnya muncul ketika ada percakapan mengenai apa yang patut diberikan sebagai usaha memperlengkapi pertama-tama kepada para pemuda Gereja tetapi kemudian kepada semua pembaca dalam menyikapi dan menampilkan hidup di tengah-tengah kemajemukan daan pluralitas. Judul ini terinspirasi oleh judul buku yang ditulis seorang teolog bernama Harun Hadiwijono.
Materi ini dipersiapkan untuk memperlengkapi para pemuda dalam upaya membangun bersama di tengah-tengah masyarakat yang berbeda-beda (majemuk). Alasan lain adalah bagaimana kaum muda ini dan kita semua mampu secara konsisten memiliki iman yang kokoh, hidup oleh iman itu serta dapat hidup bersama dengan rukun dan damai bersama penganut iman yang berbeda dengannya.
Istilah Agama yang disebut-sebut dalam materi ini memang berbeda dengan istilah iman yang kita pahami. Agama yang berarti tidak kacau (a= tidak;gama=kacau) sedangkan iman adalah intisari dari agama itu, buah terdalam dari keberagamaan seseorang itulah imannya. Sebab orang dapat saja disebut beragama tetapi belum tentu dia beriman.
Sistimatika materi  ini terdiri dari 4 bagian yakni :
Bagian Pertama  : Pengantar
Bagian Kedua     : Sekilas tentang historis agama-agama di Indonesia
Bagian Ketiga     : Imanku dan Iman sesamaku
Bagian Keempat  : Penutup.

II. Sekilas melihat historis agama-agama
Sebelum agama-agama besar masuk ke Indonesia, masyarakatnya telah memiliki kepercayaan terhadap Yang Ilahi, telah memiliki kebudayaan yang disebut monotheisme-kultural yaitu bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu telah merupakan bagian dari kebudayaan bangsa kita.  Di Indonesia kita mengenal ada 5 agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diakui. Agama-agama ini masuk ke Indonesia melalui beragam cara , misi serta orang/kelompok yang menyebarkannya.
Kerajaan-kerajaan yang terkenal di Nusantara, Kerajaan Sriwijaya yang berdiri abad ke 7 di Sumatera dan Kerajaan Majapahit yang berdiri tahun 1292 , misalnya, merupakan simbol masyarakat penganut agama Hindu dan Budha.
Kemudian pada masa perdagangan antar bangsa berkembang dan terbuka para pedagang dari Gujarat, India, pada sekitar abad ke 13 memasuki wilayah Indonesia sekaligus menandai masuknya agama Islam. Kelompok masyarakat penerima adalah mereka yang berdiam di pesisir pantai.
Semangat menjelajah serta keinginan untuk mengetahui daerah-daerah di belahan bumi yang lain disertai dengan semangat menaklukkan mendorong bangsa-bangsa di Eropa seperti Portugis, Spanyol dan Belanda menjelajah benua Asia, Afrika dan Amerika. Mereka kemudian sampai ke Indonesia. Agama Kristen yang menyebar dari tanah kelahirannya di Palestina, Timur Tengah kemudian ke daratan Turki, Laut Tengah dan daratan Eropa. Agama Kristen Katolik dibawa masuk oleh para misionaris bersamaan dengan kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol ke Indonesia pada sekitar tahun 1511, sedangkan Kristen Protestan dibawa masuk oleh para zending yang terganung dalam lembaga penginjilan bernama NZG (Netherlandsch Zendelings Genootschap) pada sekitar abad 19.
Secara historis kita melihat bahwa penetrasi agama-agama di Indonesia memang telah mempengaruhi nilai-nilai, adapt istiadat , bahasa serta budaya masyarakatnya. Diberbagai daerah sangat terasa nilai-nilai dari agama-agama berbaur dengan nilai budaya yang ada dalam masyarakat yang kemudian  menjadi landasan  membentuk / membuat aturan atau kesepakatan kelompok dalam  masyarakat. Demikian pula tidak dapat dipungkiri bahwa saat penyebaran agama terjadi juga asimilasi budaya pendatang dengan budaya setempat bahkan di beberapa tempat budaya tersebut terkikis oleh kehadiran agama baru itu. Inilah yang kemudian menjadikan budaya bangsa Indonesia menjadi beranekaragam dan  dinamis seiring dengan perkembangan pemahaman masyarakat terhadap kebutuhannya akan nilai-nilai kerohanian (spiritual). Peran  Negara juga memberi pengaruh yang kuat terhadap perkembangan agama-agama di Indonesia walaupun kita bukan Negara agama. Bersyukur kita mempunyai dasar ideology Negara yang kokoh mengayomi seluruh komponen masyarakatnya serta mampu mengakomodir eksistensi agama-agama untuk terus melakukan misinya masing-masing. Bahkan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, beberapa kelompok penganut agama yang dimasa Orde Baru dilarang justru mandapat pengakuan dari Negara(=pemerintah)

III. Bentuk-bentuk Ekstrim Cara Beragama
Di Negara adikuasa Rusia yag komunis dan Amerika yang kapitalis, agama tidaklah mempunyai tempat dan fungsi yang resmi. Di dua Negara yang sekuler ini, agama memang tidak dilarang namun agama dipahamai sebagai soal pribadi dan Cuma menyangkut urusan-urusan rohani penganutnya. Tetapi dinagara-negara yang tidak  sekuler atau lebih tepatnya di Negara-negara agama (Negara-negara yang berdasarkan agama atau Negara yang mengakui salah satu agama sebagai agama Negara), peranan agama baik  secara konstitusional, institusional dan ideologis memang sangat besar. Ada yang menjadikan hukum agama menjadi hukum Negara secara bulat-bulat namun ad juga yang cukup tersirat saja..
Secara historis, kita dapat mengatakan bahwa agama-agama di dunia ini pada umumnya lahir, bertumbuh dan berkembang sebagai “anak tunggal”. Hindu di India, Budha di SriLanka dan Thailand, Kristen di Eropa dan Amerika, Islam di Iran, Pakistan dan Timur Tengah. Dilahirkan dan berkembang sebagai “anak tunggal” tentu tersebar dan menyebarkan dengan cirri khas sebagai “anak tunggal” dengan keuntungan dan kerugiannya. Maksudnya adalah kecenderungan sikap dominan dan kurang toleran dari “anak tunggal” untuk melihat yang lain sebaga saingan, yang harus disingkirkan atau paling tidak dilemahkan kuasanya. Oleh karena itu muncul bahaya besar yang secara ekstrim menjadi usaha dari “anak tunggal” untuk memperkuat dan membesarkan diri, dan bila merasa terancam berusaha membentengi diri sekuat-kuatnya.
Kenyataan ini secara terbuka dikatakan bahwa kekristenan didalam sejarahnyapun pernah bermimpi untuk menguasai dunia. Menjadi agama satu-satunya di dunia, tidak saja merasa diri paling benar, tetapi juga satu-satunya yang benar. Inilah salah satu contoh kompleks “anak tunggal”.
Tetapi, beberapa dekade terakhir ini, muncul kesadaran baru dikalangan orang-orang Kristen (khususnya di Barat) yang memandang bahwa usaha untuk mematikan agama lain tidaklah berhasil sebab makin lama agama lain itu semakin berkembang, bahwa agama lain juga mengandung ajaran yang tidak dapat dipandang rendah atau salah semata-mata, Dan ketika orang-orang Kristen (di Eropa dan Amerika) dituntut untuk hidup bersama dengan penganut agama lain maka muncullah apa yang disebut “plural shock” (kejutan kemajemukan)
Plural shock tidak hanya terjadi dikalangan Kristen saja tetapi juga di semua agama sebab para penganutnya banyak yang belum siap. Belum mapan sikapnya menghadapi situasi yang baru. Banyak yang belum siap menerima bahwa tidak ada satupun agama di dunia ini yang dapat bermimpi menjadi satu-satunya agama bagi seluruh dunia; bahwa kemajemukan/perbedaan semakin merupakan kenyataan yang harus diterima, sebab orang yang melawannya seperti menangkap angin. Namun, tak dapat dipungkiri ada juga sekelompok orang yang secara militant tetap keras kepala tidak mau mengikuti kenyataan baru ini dan mereka tetap memperjuangkan aspirasi sebagai “anak tunggal”
Pola pemikiran seperti ini melahirkan dua pandangan ekstrim terhadap kemajemukan agama .
Pertama, kenyataan bahwa kita berada di tengah-tengah masyarakat yang pluralis (majemuk) yang mengagetkan itu membuat orang memandang bahwa keunikan yang ada pada agama-agama sebagai sesuatu yang ekslusif (tertutup) haruslah ditolak. Jadi teologi agama haruslah bersifat inklusif (terbuka). Nah, cara berpikir seperti ini melahirkan pandangan bahwa semua agama pada hakekatnya sama, yang berbeda hanya bentuk luarnya saja. Begitulah, yang terjadi kemudian cara pandang dan pola pikir ini menjadikan agama kehilangan identitasnya. Sehingga orang dapat saja berganti agama tanpa beriman secara sungguh.
Ekstrim yang kedua, justru mengambil wujud yang berbeda dengan yang pertama. Saat menyadari bahwa ia bukan satu-satunya, ia tidak dapat menerima kenyataan ini. Ia menyadari bahwa menerima kenyataan baru, ia akan kehilangan identitasnya,jatidirinya, yang selama ini menjadi nafas dari seluruh kediriannya. Ia tidak mau kehilangan. Sebab itu reaksinya adalah melindungi seluruh identitasnya dengan sekuat-kuatnya, dan itu berarti mendirikan benteng pelindung yang setebal-tebalnya.Kecenderungan inilah yang melahirkan semangat fundamentalisme , fanatisme yang berlebihan.serta upaya mempertahankan ajaran sedapat-dapatnya. Semangat ini dapat muncul pada sikap mengisolasikan diri dengan cara tertutup tetapi juga bisa secara agresif..
Dua bahaya yang ekstrim ini tidak akan dapat menolong kita untuk dapat membangun apa yang kita sebut “toleransi”. Sebab toleransi tidak dapat dibangun dengan cara-cara seperti itu.
Sulaiman Manguling (Bina Darma , Majalah Triwulan No 51 Tahun ke 13, 1995) mengutip pernyataan Walter Freytag (teolog) yang mempunyai pandangan bahwa “orang yang hanya mengetahui satu agama (yakni agamanya sendiri) sebenarnya tidak tahu agama manapun, karena jikalau orang tidak berkesempatan membuktikan ciri khas suatu pokok tertentu dalam agama atau kepercayaannya, dengan jalan membandingkannya dengan pokok-pokok dalam agama lain, bagaimana ia dapat mengetahui bahwa unsure-unsur ini sifatnya mendasar dan hakiki bagi kepercayaannya dan tidak pula dijumpai dalam agama lain?” Selanjutnya, ia mengutip pernyataan Hans Kung “hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat memahami iman kita sendiri secara sungguh-sungguh: kekuatan dan kelemahan, hanya jika berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat menemukan dasar yang sama, meskipun ada perbedaaannya dapat menjadi landasan untuk hidup bersama di dunia ini secara damai”

IV. Panggilan Beriman di tengah Kemajemukan
Dari paparan ini, kita dituntun untuk mengambil sikap yang terbuka, positif namun kritis dalam membuka diri terhadap pandangan iman kita berhadapan dengan pandangan iman sesama kita. Memandang bahwa semua agama sama atau mempertahankan identitas agama secara fundamental adalah sikap yang cenderung mendirikan tembok pemisah diantara sesame pemeluk agama.
Dalam Alkitab, banyak menceritakan bagaimana para tokoh- tokohnya bersentuhan dengan iman lain dalam perjalanannya menemukan imannya sendiri. Abraham, harus keluar dari lingkungan keluarganya dan pergi memasuki dunia yang asing dan tentu memiliki iman yang berbeda dengannya namun itulah panggilan hidupnya dan disanalah ia menemukan identitas imannya yang sesungguhnya (bnd.Kej.12,22) Bangsa Israel keluar dari tanah Gosyen dan berjalan mengitari padang gurun selama bertahun-tahun, disepanjang perjalanan mereka bertemu dengan suku-suku yang pasti memiliki cara beriman yang berbeda (bnd.Ulangan 2) ; mereka pernah jatuh bangun dalam mencari identitas iman sebagai umat pilihan seperti terjebak dalam bahaya sinkretisme ketika Harun membuatkan mereka patung lembu emas untuk disembah sebagai pengganti Yahwe (Ulangan 9:13-20). Pada peristiwa ketika mereka ditawan  oleh bangsa lain dan dibawa ke pembuangan terjadi “kebangunan rohani” saat mereka menyadari bahwa mereka tidak dapat melakukan ibadah dan mengalami sentuhan spiritual di negeri orang. Daniel dan teman-temannya berhasil mempertahankan identitasnya dan mendapatkan pengakuan raja Nebukadnezar di istana Kerajaannya (Daniel 1).Ester, menjadi permaisuri dari kalangan bangsa Yahudi menjadi salah satu diantara para tokoh yang mampu mempertahankan identitas tanpa harus bersikap fundamental (Ester 2).
Tuhan Yesus dalam seluruh pengajaranNya,(menurut kesaksian Kitab Injil) selalu memakai simbol-simbol yang menjadi ciri khas budaya dan masyarakat disekitar (budaya masyarakat Yahudi dipengaruhi secara ketat oleh pandangan agama yahudi), sehingga orang-orang yang mendengar pengajaranNya merasa terbangun imannya. Rasul Paulus, ketika memberitakan Injil kepada orang-orang di Atena, ia menggunakan pola pikir masyarakat Yunani yang menyembah  dewa-dewi untuk memperkenalkan imannya kepada Yesus Kristus , tanpa mengusik keberadaan mezbah yang terletak di tengah-tengah kota menjadi salah satu tempat penyembahan mereka(Kis.17:23)
Beriman ditengah-tengah kemajemukan adalah sesuatu yang harus diupayakan dan dibangun ditengah-tengah masyarakat kita saat ini. Apalagi sebuah kenyataan yang tak dapat kita pungkiri bahwa kita memang berada di tengah kemajemukan itu. Sebab sesungguhnya kita tidak dapat hidup sendiri atau mengisolasikan diri serta menjadi kelompok ekslusif yang fundamentalis serta agresif. Kita tidak boleh menjadi kelompok yang secara membabi buta membangun semangat spiritulitas yang kharismatis tanpa peduli pada sekitar.

IV. Penutup
Kembali ke awal cerita kita, apa yang kita cari melalui pembahasan materi ini? Saya memberi kesempatan pada teman-teman untuk menulis kesimpulan pribadi dan menyampaikannya pada kita di forum ini. Kesimpulan kita akan menentukan bagaimana kita akan keluar ke tengah-tengah masyarakat disekitar kita, akan menentukan bagaimana kita memberlakukan iman kita, bagaimana kita memandang iman sesama kita.
Kita tak dapat beriman dengan sungguh-sungguh tanpa kita melihat dan menyelami iman sesama kita. Karena itu penting bagi kita untuk mengenal serta menyelami cara beriman sesame kita tanpa harus menjadi sama dengan mereka. Tetapi satu hal yang perlu kita waspadai adalah yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah belajar dan mengenal imanmu dan kembangkan imanmu dengan mengenal iman sesamamu.
Dengan demikian semangat dialog yang terbangun  diantara kita bukan hanya didasarkan pada adanya rasa sungkan dan hormat yang semu melainkan lahir dari semangat saling terbuka secara mendalam, secara santun dan penuh penghargaan. Kebersamaan hanya dapat diciptakan jika terjadi keterbukaan untuk mengenal dan belajar antara aku, kau dan Dia. Sebab “Allah adalah Allah. Kita tidak boleh menguasai Allah. Sama seperti menguasai milik pribadi kita; Allahlah yang memiliki kita. Allah itu bebas. Ia tidak bisa terpenjara dalam satu agama. Allah adalah Allah : artinya yang tahu persis tentang Allah adalah Allah sendiri” demikian ungkapan bijak Wesley Ariarajah.(gacw-22102009)




Tidak ada komentar: